Sabtu, 12 Mei 2018

Perempuan di Dalam Cermin

Aku menatap bayanganku dalam cermin. Kadang aku tak mengenali perempuan yang balik menatapku dari dalam cermin ini. Dia terlihat begitu berbeda setiap harinya. Kadang ceria, kadang sendu, kadang seolah meradang, kadang begitu kelam, Aku tak tahu apa yang menyebabkan bayanganku terlihat begitu berbeda setiap harinya. Tak ada yang tahu. Orang-orang hanya sering bertanya, “Kenapa kamu terlihat seperti itu?” sambil menatapku dengan aneh. Lalu mereka kesal karena aku tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan mereka. Padahal bukan aku tak mau menjawab, tapi aku juga masih mencari jawabannya.

Lalu pada suatu ketika, datanglah jawaban yang aku cari selama ini. Malam itu, semua pertanyaan terjawab sudah. Malam itu, semua kebingungan pun bermuara. Malam itu, selembar kertas berisi semacam vonis atas diriku.

DISORDERYOUR SCORE
Major Depression : Extremely High
Dysthymia : High-Moderate
Bipolar Disorder :Extremely High
Cyclothymia : Very High
Seasonal Affective Disorder : Slight-Moderate
Depression Test has been taken

Maka terjawablah semua yang selama ini tak terjawab. Teranglah semua yang gelap. Sekarang aku mengerti kenapa perempuan dalam cermin itu seringkali terlihat berbeda. Sekarang aku mengerti kenapa aku sering tak mengenali bayanganku sendiri. Lalu aku harus apa sekarang?

“Berkenalan denganku.” ujar perempuan dalam cermin itu sambil tersenyum dan menatapku tajam.

Di Antara Heningnya Waktu

Ada yang pernah berkata, “Suara terindah adalah kesenyapan”. Dalam hening yang jatuh di antara detik-detik yang berguguran, aku menanti. Hampa adalah setiap kata yang datang dalam kemayaan tanpa realita. Mungkin karena senyap adalah suara terindah, maka kamu terus menyapaku dalam keheningan yang menyelinap di antara butiran waktu. Lalu aku memandang pigura waktu yang berhias rindu. Mungkin satu senja nanti semuanya akan melebur menjadi satu kenangan yang dibawa oleh lembayung. Mungkin akan tiba saatnya di mana aku bisa rebah di bahumu sambil menatap mentari yang pulang ke peraduannya.

Di antara heningnya waktu aku menanti. Meski kakiku terus melangkah, tapi aku sesekali tetap menengok, mencoba melihat apakah abstraksimu akan muncul dan mengejar langkahku. Mungkin belum. Mungkin tidak sekarang. Mungkin tak akan pernah. Tapi aku toh tetap menanti dalam bisu, karena kamu pernah berjanji kamu tak akan ke mana-mana.

Kadang aku sulit untuk memahami isi kepalamu. Mungkin karena aku mencoba masuk ke dalamnya, lalu tersesat dalam labirin yang berliku. Mungkin tak seharusnya aku menerobos masuk ke dalam rongga kepalamu. Tapi bagaimana aku bisa belajar untuk paham jika aku hanya berdiri di tepian ingatanmu saja? Senyap darimu mungkin sebuah pesan tersendiri. Karena tak ada pesan adalah juga sebuah pesan. Lalu aku membiarkan semak belukar dalam rongga kepalamu itu menutup jalanku. Sebab tak juga kamu ijinkan aku untuk masuk.

Di antara heningnya waktu aku menanti…

Hening. Hampa. Sepi. Senyap….

Rabu, 09 Mei 2018

Dari Balik Bayang Bayang

Aku tegak seorang diri, menatapmu dari kejauhan. Dari balik bayang-bayang aku menekuri sosokmu. Sosok yang kadang nyata dan kadang hanyalah sebuah abstraksi semata. Rindu kita berjarak, maka aku hanya bisa menghela nafas panjang sambil terus menanti. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menanti. Meski waktu seringkali mencurangi kita.

Dari balik bayang-bayang aku menggerus rindu. Meretas rasa sepi yang mendera dalam jiwa. Adakalanya langit pun sepi dari lembayung yang menari di senja hari. Begitu pula kita, ada kalanya hening tercipta walaupun kita sama-sama menggenggam rindu dengan erat.

Dari balik bayang-bayang aku berkenalan dengan Lacuna. Sebuah tempat kosong. Serpihan yang hilang. Kamulah Lacuna yang mengisi rongga jiwa dengan kekosongan dan kehilangan tentangmu. Hampa ini abadi sampai kamu kembali. Aku hanya bisa menanti dari balik bayang-bayang, karena di situlah tempatku berdiam. Di bawah keteduhan dan keremangan malam. Sendiri berteman rembulan dan angin malam.

Dari balik bayang-bayang aku menahan semua rasa rindu yang bercampur dengan rasa sakit. Rindu ini milikmu, tapi rasa sakit ini milikku…

My Death Wish

Kematianku adalah pernikahanku dengan keabadian


Begitu yang dituliskan oleh Rumi. Dan aku setuju. Kalimat itu terpatri di dalam rongga kepalaku, tak bisa pergi dan selalu terngiang setiap saat. Tak ada yang salah dengan kematian. Maka tak ada yang salah jika aku membuat beberapa permintaan, bukan?

Ini permintaanku ketika aku mati:

Donasikan semua organ tubuhku yang masih baik kepada orang yang membutuhkan.

Kremasikan jasadku, lalu taburkan abunya di laut atau gunung ketika hari menuju senja.

Jangan datang ke acara memorialku dengan menggunakan pakaian hitam.Putarkan “The Spirit Carries On” dari Dream Theater, “Wake Me Up When September Ends” dari Green Day, “Glorious Day” dari Embrace,  “Mengenangmu” dari Kerispatih, “Sempurna” dari Andra and The Backbone, “Beautiful Ride” dari OST Walk Hard, “Closer To The Edge” dari 30 Seconds To Mars, “Full Moon Blues” dari Slank, “It’s My Life” dari Bon Jovi,

Pasanglah bunga mawar putih dan/atau lily putih di rumahmu selama seminggu penuh, karena aku ingin kamu terkenang akan diriku setiap kali melihat dan mencium wangi bunga mawar dan lily putih.Jangan membuat acara memorial yang mengusung unsur kesedihan. 

Buatlah sebuah pesta di mana semua orang datang untuk merayakan hidupku yang berwarna, bukan mengenang kematianku.

Ceritakan lelucon dan hal-hal yang menyenangkan atau menyebalkan tentang diriku. Jangan ceritakan hal-hal yang menyedihkan karena aku tidak ingin dikenang dalam kesedihan.Jangan ada air mata yang berlebihan. 

Tersenyum dan tertawalah karena kamu tahu aku telah menjalani hidup yang sangat berwarna… dan karena kamu juga telah ambil bagian di dalamnya.Pasang bunga mawar putih dan/atau lily putih di setiap hari ulang tahunku, peringatan kematianku.

Kenang aku setiap kali hujan turun atau ketika kamu memandang matahari yang terbenam.

Genangan Waktu

Hujan biasanya menumbuhkan rindu. Memicu pikiran dan kenangan tentangmu. Tapi hujan petang ini berbeda. Meski derasnya masih sama, kepalaku tak penuh oleh abstraksimu. Meski suara rinainya yang jatuh masih menenangkanku, pikiranku tak lagi melayang padamu.

Hujan petang ini hanya meninggalkan genangan waktu. Melibas habis semua kenangan yang telah berlalu. Aku mencoba mencari rindu di sela-sela suara hujan. Tapi dia tak ada. Entah ke mana perginya, yang tersisa hanya genangan waktu. Tergolong gelisah di bawah rinai hujan.

Lalu aku berdiri dengan secangkir kopi di tangan. Tetes yang jatuh memenuhi genangan itu mulai menghilang. Hujan akan segera berhenti, tapi rindu masih entah terselip di mana. Apa mungkin dia tersesat, ketika berjalan dari hatimu menuju tempatku? Atau mungkin dia singgah di tempat lain, sehingga lupa jalan ke hatiku. Atau barangkali dia memang sudah tak lagi melakukan perjalanan di antara jiwa-jiwa kita. Entah…

Aku memandangi riak dalam genangan waktu di depanku. Pada masanya, hanya wajahmu yang tergambar jelas di sana. Pada suatu ketika, genangan itu penuh dengan helai rinduku untukmu. Pada suatu saat, hanya kamu yang aku cari di sela-sela setiap riaknya. Tapi masa itu telah lewat. Berlalu begitu saja seperti angin yang pergi sambil menderu. Sekarang yang tersisa hanya genangan waktu. Dan esok pagi dia pasti akan mengering. Hilang. Sama seperti rindu kita yang tersesat entah di mana.

Semesta..kau membuatku patah hati !!

Aku tegak seorang diri di atas bukit ini. Senja baru saja turun, lembayung masih menyisakan semburat jingganya di langit. Biasanya aku akan rebah di rumput sambil menatap langit yang berganti warna. Tapi kali ini aku tak bisa menikmati semua ini. Sekelilingku penuh dengan bara dan sekam.

Empati sudah mati. Dia tergolek tak bernyawa di bawah sebuah tunggul yang hangus terbakar. Di sebelahnya terbaring Humaniora yang masih tersengal-sengal namun sudah sekarat, satu tangannya menggenggam tangan Cinta yang sudah beku. Dia masih mencoba untuk mempertahankan nafasnya yang tinggal sepotong. Aku berlutut dan menggenggam jemari tangannya sekedar mencoba untuk memberikan kekuatan yang tak seberapa. Aku pun tak tahu pasti apakah yang aku lakukan ini berguna atau sia-sia belaka. Humaniora memandangku dengan tatapan sedih. Matanya kelabu. Sekelabu asap yang mengepul tipis di sekeliling kami. “Bertahanlah….” ucapku lirih. Bibirnya menyungging senyum lemah.

Tiba-tiba ada suara riuh rendah celoteh tak jelas di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Logika sedang berlarian ke sana ke mari. Pakaiannya compang camping dan mulutnya meracau. Entah apa saja yang dicelotehkannya, aku tak paham. Bicaranya cepat. Kadang suaranya rendah seperti bergumam. Kadang biasa seperti sedang mengobrol. Sekali waktu teriakannya melengking memekakkan telinga. Logika sudah kehilangan kewarasannya! Dia sudah gila rupanya! Astaga…. akan jadi apakah semua ini? Segalanya begitu kacau. Chaos!

Aku mencoba menangkap apa yang diucapkan oleh Logika meskipun ceracaunya sungguh membuatku sulit untuk untuk menangkap kata-kata yang terlontar. Sesekali aku hanya bisa mendengar suaranya ketika dia menjerit lantang, “Cinta sudah mati! Empati sudah mati! Semuanya sudah mati! Mati! Mati! Matiiiii….!!!!” jeritnya memecah langit senja sambil berlari-lari kian kemari dengan panik. Sesekali dia terjatuh, lalu bangkit kembali dan lari lagi.Kemudian jatuh lagi, bangkit lagi. Begitu terus tanpa henti.

“Semesta, kenapa semuanya seperti ini? Kenapa segalanya begitu kacau? Apa rencanamu sebenarnya? Kamu berjanji padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi kamu berkhianat! Kamu membuatku patah hati…” aku bertanya setengah berteriak, mengharap jawab dari Semesta. Aku mulai merasakan air mataku merebak. Frustrasi. Kesal dan marah mengisi rongga hatiku. Aku tak mengerti kenapa pagi yang damai harus berakhir dengan senja yang kacau.

Belum lagi sempat aku meneriakkan kekesalanku yang berikutnya, tiba-tiba aku mendengar suara derap langkah kaki dari balik bukit. Lima siluet muncul dengan pedang terhunus di tangan masing-masing. Ego memimpin di paling depan. Benci mendampingi di sebelah kanannya sementara Angkara di sebelah kirinya. Di belakang mereka Jumawa dan Provokasi mengikuti. “Itu dia!” Provokasi berseru sambil mengacungkan pedangnya menuding ke arahku. Mereka semua menyungging senyum sinis sambil tetap bergerak. Tak terlalu cepat, namun pasti. Tak terlalu terburu-buru, tapi terus merangsek mendekat. Aku? Tak bisa menghindar, sebab Humaniora dalam nafasnya yang sepenggal demi sepenggal masih menggenggam erat jemariku…

“Ah, Semesta… permainan apa yang sedang kau lakukan padaku? Hentikanlah! Aku tak bisa berpikir lagi!” jeritku dalam hati nyaris putus asa…

Surat Untuk Rembulan

Rembulanku sayang,

Kamu sering bertanya kenapa aku begitu gigih ingin melewati setiap malam bersamamu. Kamu terlihat sering tak mengerti dengan tabiatku yang satu itu. Kamu juga sering kesal karena aku merajuk ketika kamu tak datang. Kamu sering menganggapku tidak adil karena aku selalu berusaha agar semua keinginanku terpenuhi.

Rembulanku, kamu mungkin paham tapi tak sepenuhnya paham. Atau mungkin kamu lupa bahwa pada suatu malam ketika kita duduk bersama, kamu berkata bahwa akan tiba saatnya di mana kamu tak bisa muncul setiap malam di langit malam. Kamu pernah mengingatkanku bahwa suatu hari nanti, akan tiba masanya di mana aku harus melewatkan malam-malamku sendirian tanpamu.

Sebenarnya kamu tak perlu mengingatkanku akan hal itu. Aku tahu. Dan aku sadar. Tapi sebelum waktu itu tiba. Sebelum hari itu akhirnya datang, aku ingin bisa selalu melewatkan malam-malamku denganmu. Karena kamu tak datang di siang hari. Aku hanya memilikimu di malam hari dan malam hari saja. Maka maafkan aku, sayangku, jika aku terlalu mendesakmu. Sebab aku tak pernah tahu kapan hari itu akan tiba. Mungkin esok, mungkin lusa, mungkin tahun depan, mungkin sepuluh tahun lagi atau bahkan mungkin juga hari itu akhirnya tak pernah datang. Tapi jika hari itu pada akhirnya tak pernah tiba, bukan karena kamu terbebas. Jika hari itu pada akhirnya tak pernah menghampiriku, mungkin karena aku tak lagi ada untuk melewatkan malam-malamku bersamamu.

Maka maafkan aku yang terlalu gigih ingin melewati setiap malamku denganmu, rembulanku. Karena aku tak pernah tahu, siapa yang akan pergi lebih dahulu. Aku kah? Kamu kah? Entah… Waktuku tak banyak, sayangku. Dewi Kematian senantiasa mengintipku dari balik jubah malam yang kelabu. Memperlihatkan wajahnya yang pucat dan jelita seolah ingin mengingatkanku bahwa dia masih menanti saat yang tepat untuk membawaku pergi darimu. Tapi sebelum hari itu tiba, aku hanya ingin menghabiskan sebanyak-banyaknya waktuku denganmu. Aku pasti akan pergi dalam hening dan senyap. Namun aku ingin mengisi sisa waktu yang ada dengan percakapan, tawa bahkan tangis yang kamu bawa.  Tak bisakah kamu pahami itu?

Mungkin sekarang kamu tak paham. Tapi suatu hari nanti. Mungkin ketika kita sudah tak lagi bisa melewatkan malam bersama-sama, segalanya akan menjadi jelas dan kamu akan paham sepenuhnya.

Dengan cinta,

Perempuanmu