Aku tegak seorang diri di atas bukit ini. Senja baru saja turun, lembayung masih menyisakan semburat jingganya di langit. Biasanya aku akan rebah di rumput sambil menatap langit yang berganti warna. Tapi kali ini aku tak bisa menikmati semua ini. Sekelilingku penuh dengan bara dan sekam.
Empati sudah mati. Dia tergolek tak bernyawa di bawah sebuah tunggul yang hangus terbakar. Di sebelahnya terbaring Humaniora yang masih tersengal-sengal namun sudah sekarat, satu tangannya menggenggam tangan Cinta yang sudah beku. Dia masih mencoba untuk mempertahankan nafasnya yang tinggal sepotong. Aku berlutut dan menggenggam jemari tangannya sekedar mencoba untuk memberikan kekuatan yang tak seberapa. Aku pun tak tahu pasti apakah yang aku lakukan ini berguna atau sia-sia belaka. Humaniora memandangku dengan tatapan sedih. Matanya kelabu. Sekelabu asap yang mengepul tipis di sekeliling kami. “Bertahanlah….” ucapku lirih. Bibirnya menyungging senyum lemah.
Tiba-tiba ada suara riuh rendah celoteh tak jelas di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Logika sedang berlarian ke sana ke mari. Pakaiannya compang camping dan mulutnya meracau. Entah apa saja yang dicelotehkannya, aku tak paham. Bicaranya cepat. Kadang suaranya rendah seperti bergumam. Kadang biasa seperti sedang mengobrol. Sekali waktu teriakannya melengking memekakkan telinga. Logika sudah kehilangan kewarasannya! Dia sudah gila rupanya! Astaga…. akan jadi apakah semua ini? Segalanya begitu kacau. Chaos!
Aku mencoba menangkap apa yang diucapkan oleh Logika meskipun ceracaunya sungguh membuatku sulit untuk untuk menangkap kata-kata yang terlontar. Sesekali aku hanya bisa mendengar suaranya ketika dia menjerit lantang, “Cinta sudah mati! Empati sudah mati! Semuanya sudah mati! Mati! Mati! Matiiiii….!!!!” jeritnya memecah langit senja sambil berlari-lari kian kemari dengan panik. Sesekali dia terjatuh, lalu bangkit kembali dan lari lagi.Kemudian jatuh lagi, bangkit lagi. Begitu terus tanpa henti.
“Semesta, kenapa semuanya seperti ini? Kenapa segalanya begitu kacau? Apa rencanamu sebenarnya? Kamu berjanji padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi kamu berkhianat! Kamu membuatku patah hati…” aku bertanya setengah berteriak, mengharap jawab dari Semesta. Aku mulai merasakan air mataku merebak. Frustrasi. Kesal dan marah mengisi rongga hatiku. Aku tak mengerti kenapa pagi yang damai harus berakhir dengan senja yang kacau.
Belum lagi sempat aku meneriakkan kekesalanku yang berikutnya, tiba-tiba aku mendengar suara derap langkah kaki dari balik bukit. Lima siluet muncul dengan pedang terhunus di tangan masing-masing. Ego memimpin di paling depan. Benci mendampingi di sebelah kanannya sementara Angkara di sebelah kirinya. Di belakang mereka Jumawa dan Provokasi mengikuti. “Itu dia!” Provokasi berseru sambil mengacungkan pedangnya menuding ke arahku. Mereka semua menyungging senyum sinis sambil tetap bergerak. Tak terlalu cepat, namun pasti. Tak terlalu terburu-buru, tapi terus merangsek mendekat. Aku? Tak bisa menghindar, sebab Humaniora dalam nafasnya yang sepenggal demi sepenggal masih menggenggam erat jemariku…
“Ah, Semesta… permainan apa yang sedang kau lakukan padaku? Hentikanlah! Aku tak bisa berpikir lagi!” jeritku dalam hati nyaris putus asa…